Di
Pegunungan Bacson dan di Provinsi Hoabinh dekat Hanoi, Vietnam, oleh
peneliti Madeleine Colani ditemukan sejumlah besar alat yang kemudian
dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Jenis alat serupa juga
ditemukan di Thailand, Semenanjung Melayu, dan Sumatra.
Peninggalan-peninggalan di Sumatra berupa bukit-bukit kerang yang
dinamakan kjokkenmoddinger (sampah dapur) yang memanjang dari Sumatra Utara sampai Aceh......
Ciri
dari kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua
sisi permukaan batu kali yang berukuran satu kepalan dan bagian tepinya
sangat tajam. Hasil penyerpihannya menunjukkan berbagai bentuk, seperti
lonjong, segi empat, dan ada yang bentuknya berpinggang. Di wilayah
Indonesia, alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Papua,
Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Penyebaran kebudayaan
Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke
Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka datang di
Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan
Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian.
Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal
sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya
Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua
Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger).
Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu
keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman
bagi kehidupan manusia.
Penyelidikan kjokkenmoddinger dilakukan
oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925. Juga banyak ditemukan
kapak genggam yang kemudian dinamakan kapak Sumatra, terbuat dari batu
kali yang dibelah, sisi luarnya tidak dihaluskan, dan sisi dalamnya
dikerjakan sesuai dengan keperluan. Jenis lain adalah kapak pendek (hache courte),
bentuknya setengah lingkaran, bagian tajamnya pada sisi lengkung.
Ditemukan pula batu penggiling (pipisan) sebagai penggiling makanan atau
cat merah, ujung mata panah, flakes, dan kapak Proto Neolitikum.
Ras
Papua Melanesoid hidup masih setengah menetap, berburu, dan bercocok
tanam sederhana. Mereka hidup di gua dan ada yang di bukit sampah.
Manusia yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah mengenal kesenian,
seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang
(Sulawesi). Lukisan tersebut memuat gambar binatang dan cap telapak
tangan.
Mayat
dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan sikap jongkok, beberapa
bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah adalah warna darah, tanda
hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud agar dapat mengembalikan
kehidupannya sehingga dapat berdialog. Kecuali alat batu, juga ditemukan
sisa-sisa tulang dan gigi-gigi binatang seperti gajah, badak, beruang,
dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan binatang kerang, mereka pun memburu
binatang-binatang besar.
Di
daerah Sumatra alat-alat batu jenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan
di Lhokseumawe dan Medan. Di Pulau Jawa, alat kebudayaan yang sejenis
kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di daerah sekitar Bengawan Solo,
yakni bersamaan waktu penggalian fosil manusia purba. Peralatan yang
ditemukan dibuat dengan cara yang sederhana, belum diserpih dan belum
diasah. Alat tersebut diperkirakan dipergunakan oleh jenis Pithecanthropus erectus di Trinil, Jawa Timur.
Sumber : http://texbuk.blogspot.com/2011/06/pengaruh-perkembangan-budaya-bacson.html
1 comments:
awuhhh yo'kon
ngene iki nek
wong pencinta
nang sejarah...
ahahahha.....
Post a Comment